Kamis, 05 Februari 2009

KETIKA CHIQA DEMAM

hari rabu lalu ( 7/03/09) , suhu tubuh chiqa perlahan menanjak naik , kami tidak terlalu cemas karena pada usianya yang masih balita hal tersebut adalah wajar karena tubuh nya mempelajari perubahan cuaca karena kebetulan sekarang lagi musim hujan , tapi 2 hari kemudian panasnya tidak beranjak turun ( menurut dokter anak kami , jika tubuh suhu anak tidak turun maka hrs disegerakan untuk diperiksa ke dokter ) . akhirnya kami pun membawa dokter anak . sesampainya disana chiqa diperiksa kemudian diberikan anti biotik setelah itu demam anak kami berangsur turun .

Berdasarkan pengalaman tersebut , orang tua saya pernah mengigatkan bahwa panas pada anak adalah hal yang lumrah ( bagaimana kekebalan tubuhnya bekerja secara alami ) sedangkan nasihat dokter spt yang ada diatas harus segera diperiksakan .

ada dua nasehat yang bertentangan tapi dapat dipahami dari sudut pandang masing - masing opini , tp akhirnya saya mencoba merangkum dr berbagai sumber tentang panas pada anak ,berikut rangkumannya semoga berguna ......... salam bubu

"Not all fevers need to be treated but many physicians do so to relieve parental
concern" Tidak semua panas badan memerlukan pengobatan, namun banyak dokter
melakukannya hanya untuk mengurangi kegelisahan orangtua. (Europa Journal Pediatric,
1994 Jun)

Demam pada anak sering menimbulkan fobia tersendiri bagi banyak orangtua.
Keyakinan untuk segera menurunkan panas ketika anak demam sudah melekat erat dalam
benak orangtua. Demam diidentikkan dengan penyakit, sehingga saat demam berhasil
diturunkan, orangtua merasa lega karena menganggap penyakit akan segera pergi bersama
turunnya panas badan.

Keinginan untuk menenangkan kegelisahan orangtua inilah yang terkadang 'memaksa'
dokter memberikan obat penurun panas walaupun sebenarnya mungkin tidak perlu. Selain
itu tak dapat dipungkiri bahwa dokter yang gemar melakukan pengobatan 'ala koki'
(meminjam istilah Dr Paul Zakaria da Gomez- ahli imunologi) masih kerap dijumpai.
Seperti halnya makanan yang kurang manis ditambah gula, kurang asin ditambah garam,
begitu pula pengobatan 'ala koki' dilakukan. Apapun penyebabnya, penderita panas badan
langsung dicekoki obat penurun panas tanpa memastikannya terlebih dulu.

Apakah memberikan obat penurun panas ketika anak demam merupakan suatu hal yang
salah? Bukankah bila demam tidak diturunkan akan menimbulkan kerusakan pada otak?
Bukankah pemberian obat penurun panas menyebabkan anak terhindar dari kejang demam
(stuip), membuat anak merasa lebih nyaman dan meningkatkan nafsu makan? Hal-hal
seperti itulah yang sering terdengar mengenai demam dan banyak didengung-dengungkan di
berbagai media iklan. Alhasil demam semakin menjadi momok yang menakutkan bagi
orangtua, dan memperkuat keyakinan orangtua untuk buru-buru menurunkan panas ketika
anak demam.

Namun sesungguhnya para ahli menyatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut
hanyalah mitos belaka karena tidak semua dapat dibuktikan kebenarannya. Keberadaan
demam justru berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit. Bahkan pemberian
obat penurun panas ketika anak demam (baik aspirin, paracetamol/acetaminophen maupun
ibuprofen) terbukti lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positif.

Sebelum mengetahui lebih lanjut dampak-dampak tersebut, harus dipahami terlebih
dahulu bahwa terjadinya demam ketika seorang anak mengalami infeksi bukanlah suatu
kesalahan. Tuhan memang sudah memberikan demam sebagai reaksi alamiah tubuh terhadap
adanya infeksi. Sehingga ketika seorang anak mengalami infeksi, keberadaan demam
semestinya disyukuri, bukan ditakuti atau diperangi karena hal ini merupakan pertanda
bahwa mekanisme pertahanan tubuh sedang bekerja untuk melawan penyakit. Demam memang
tidak hanya dapat disebabkan oleh infeksi, bisa saja terjadi karena pencetus lain
seperti reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi , dan lain sebagainya. Tetapi
pada anak umumnya demam terjadi karena suatu infeksi kuman, entah itu virus maupun
bakteri.

Mengapa reaksi alamiah tubuh ini harus disyukuri? Berbagai literatur menyebutkan
bahwa komponen-komponen sistem kekebalan tubuh, seperti sel darah putih (leucocyt) dan
lymphocyt (salah satu jenis sel darah) akan bekerja lebih baik melawan kuman dalam
keadaan suhu tubuh yang meningkat ketimbang suhu tubuh normal. Artinya, menurunkan
suhu tubuh ketika anak demam justru akan melemahkan sistem kekebalan tubuhnya.

Saat demam terjadi, pergerakan dan aktivitas sel-sel darah putih yang meningkat,
serta terjadinya perubahan bentuk lymphocyt dapat membunuh bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh. Selain itu, jumlah interferon, yang merupakan salah satu
substansi anti virus dan anti kanker dalam darah, juga akan meningkat dengan adanya
demam. Teori tersebut juga didukung oleh sebuah penelitian di laboratorium, pada
binatang yang sengaja diinfeksi oleh suatu penyakit. Ternyata dengan meningkatnya suhu
tubuh binatang-binatang yang terinfeksi itu, angka kelangsungan hidup mereka semakin
meningkat. Sebaliknya dengan menurunkan suhu tubuh ketika terjadi infeksi, malah
meningkatkan angka kematian binatang-binatang tersebut.


Hylary Buttler, seorang peneliti dari New Zealand telah mengumpulkan
kutipan-kutipan dari berbagai literatur kedokteran yang membuktikan bahwa demam memang
diperlukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh ketika terjadi infeksi. Sebaliknya
pemberian obat penurun panas seperti paracetamol/acetaminophen, aspirin dan ibuprofen
malah memberikan pengaruh negatif.

Dalam salah satu kutipan itu disebutkan bahwa pemberian obat penurun panas untuk
menurunkan demam akan meningkatkan angka kematian dan kesakitan selama infeksi.
Pemberian acetaminophen dinyatakan juga dapat menginduksi terjadinya pneumonia. Selain
itu semakin sering memberikan obat penurun panas pada anak dengan penyakit infeksi,
ternyata malah akan memperparah dan memperpanjang masa sakitnya. Fakta lain yang lebih
penting menginformasikan bahwa obat penurun panas dapat memberikan gejala palsu.
Penderita demam yang disangka sedang dalam masa penyembuhan karena panasnya sudah
turun, ternyata luput dari observasi dan mengakibatkan penyakitnya berlanjut semakin
buruk akibat pemberian obat penurun panas.

Walaupun belum dinyatakan kebenarannya, namun Dr Torres, seorang peneliti senior
dari Biomedical Utah State University, memberikan teori baru mengenai penyebab
potensial merebaknya kasus autism belakangan ini. Demam yang dihambat dengan pemberian
obat penurun panas pada ibu hamil dan anak-anak kecil, dikatakan terlibat sebagai
biang kerok terjadinya autism dan neurodevelopmental disorders. Pada akhirnya
kerugian pemberian obat penurun panas ini tentu saja berhubungan dengan biaya
pengobatan yang seharusnya tidak perlu dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang
lebih penting.

Lalu bagaimanakah dengan kebenaran mitos-mitos yang sudah mendarah daging
diyakini para orangtua? Dalam bukunya "How To Raise A Healthy Child in Spite of Your
Doctor" Dr Robert Mendelsohn yang juga seorang dokter spesialis anak mengatakan, demam
tinggi bukanlah penyebab kejang demam. Kejang demam muncul ketika suhu badan meningkat
dengan kecepatan yang sangat tinggi dan hal ini umumnya jarang terjadi. Hanya 4 %
anak-anak dengan demam tinggi yang demamnya berhubungan dengan kejang. Tidak ditemukan
pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa setelah kejang demam mereka kemudian mengalami
efek serius. Anggapan bahwa pemberian obat penurun panas akan mengurangi kejadian
kejang demam pun tidak didasari oleh bukti yang nyata. Karena itu memberikan obat
penurun panas kepada semua anak yang mengalami demam, hanya akibat 4% kejadian kejang
demam, bukanlah hal yang rasional.

Selain itu demam yang terjadi karena infeksi bakteri atau virus, pada umumnya
tidak akan menyebabkan kerusakan otak atau kerusakan fisik permanen seperti anggapan
yang telah dianut selama ini. Demam adalah hal yang biasa terjadi pada anak dan bukan
merupakan suatu indikasi penyakit serius kecuali bila disertai dengan perubahan
penampilan, perubahan tingkah laku atau gejala-gejala tambahan seperti kesulitan
bernafas, kaku kuduk atau kehilangan kesadaran. Hanya demam diatas 42,2 derajat C yang
telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan otak.

Namun tentu saja terdapat perkecualian, yaitu bila demam terjadi pada bayi yang
baru lahir. Demam yang terjadi pada bayi di minggu-minggu pertama kehidupannya harus
mendapatkan perhatian serius, karena kemungkinan besar infeksi didapat dari proses
persalinan, atau pun penyebab lain.

Asumsi yang juga telah sangat diyakini orangtua adalah pernyataan bahwa obat
penurun panas akan menyebabkan anak merasa lebih baik, lebih aktif dan meningkatkan
nafsu makan. Padahal penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan efek yang tampak
ketika penderita demam diberi obat penurun panas maupun placebo. Jadi tidak dapat
dibedakan apakah keadaan lebih baik yang dirasakan penderita sebetulnya merupakan efek
placebo atau efek obat. Tapi bila obat penurun panas dipakai sebagai placebo, artinya
placebo yang digunakan merupakan placebo yang sangat berbahaya.

Dari keterangan diatas jelas lah sudah bahwa demam bukanlah musuh yang harus
diperangi. Karena itu penggunaan obat penurun panas sebaiknya betul-betul diberikan
secara rasional. Beberapa negara bahkan membuat peraturan agar dokter-dokter mereka
memberikan obat penurun panas pada pasien, hanya ketika demamnya mencapai 40,5
derajat C atau lebih.

Mengingat pengaruh emosional yang telah begitu mendalam di benak orangtua,
merubah perilaku ini tentu menjadi pekerjaan yang teramat sulit. Namun dengan merubah
paradigma tentang demam, dan menyadari dampak negatif pemberian obat penurun panas
pada anak, diharapkan demam tidak lagi menjadi 'monster' yang menyeramkan bagi
orangtua. Orangtua tidak lagi perlu buru-buru membeli obat penurun panas di warung
dekat rumah, atau pun 'memaksa' dokter untuk segera menurunkan demam anak.

Selain itu akan sangat bijaksana pula, bila dokter tidak begitu saja dengan
mudah memberikan obat penurun panas tanpa indikasi yang betul-betul perlu. Menjelaskan
pada pasien mengenai pentingnya keberadaan demam dan dampak negatif menurunkan panas
badan ketika anak demam, merupakan tindakan yang lebih rasional. Bila hal ini
dilakukan, paling tidak ancaman pengaruh buruk akibat rutinnya penggunaan obat penurun
panas terhadap kesehatan anak-anak dikemudian hari, dapat dikurangi.

0 komentar: